3 Bandara, 3 Kenangan
Kulirik tiket pesawat di tanganku, disitu tertulis tujuan,
nomor tempat duduk dan nomor penerbangan. Aku mendesah pelan. Harus menempuh
perjalanan berjam-jam untuk nyampe di kampung halaman. Rela transit berjam dan
ganti pesawat. Tapi, aku menikmatinya.
Aku menikmati keriuhan bandara, berada diantara orang-orang yang tak
kukenal, mengamati tingkah laku mereka dan terkadang aku asyik dengan gadget
tanpa memedulikan sekitar.
Kali ini, aku hampir ketinggalan pesawat. Alarmku mati! Aku
pun tergopoh-gopoh ke bandara, jarak tempuh rumah ke bandara lumayan jauh,
sejam. Tiba di bandara, antrian check-in sudah lenggang, beruntungnya aku. Tak
perlu berlama, kertas check-in kukantongi dan secepat kilat aku menuju gate 2.
Masih tersisa 5 menit sebelum panggilan masuk pesawat. Aku memilih duduk dekat
kaca, seperti biasanya. Aku tak terlalu
bersemangat untuk kepulangan kali ini. Ada sesak yang menelusup yang tak bisa
kuungkapkan. Suara panggilan masuk pesawat membuyarkan lamunanku. Aku memilih
menjadi yang terakhir masuk ke pesawat. Akhirnya, saat itu tiba juga, meninggalkan
kota batik dan kamu, suamiku.
Perjalanan Solo-Jakarta ditempuh dalam waktu kurang lebih
sejam. Sekali lagi, aku menjadi penumpang terakhir yang keluar dari pesawat.
Memasuki bandara terbesar di Indonesia, langkahku terhenti sejenak, kutatap
ruangan nan besar yang berdiri megah dihadapanku. Aku mendesah pelan, seketika
sekelebat bayangan kenangan melintas di benakku. Di tempat ini, tersimpan
kenangan akan pertemuan dan perpisahan, denganmu, yang kala itu masih berstatus
kekasih. Kita berdua memilih tempat ini, untuk bertemu lagi setelah melewati tahun-tahun
sulit dalam perjalanan kisah kita. Serasa masih kemarin, aku menunggumu di
depan pintu kedatangan. Kamu datang dari arah berlawanan, ya kala itu pesawatmu
tiba di terminal 2 sedangkan aku di terminal 1. Di terminal 1 ini, kita bertemu
lagi, pelukanmu yang hangat menyambutku. Tanganmu erat menggenggam tanganku,
seakan tak mau lepas lagi. Dan di bandara ini, aku menangis saat harus berpisah denganmu lagi.
Kuedarkan pandangan di sekeliling, kini aku sendiri tanpamu.
Aku mengetik sebuah pesan singkat, mengabarimu kalau aku sudah tiba di Jakarta.
Tak lama berselang, ponselku berdering, telpon darimu. Baru sejam berpisah,
rasa rindu mulai menggerogoti jiwaku. Kubuang pandanganku ke luar kaca besar,
bandara ini sudah banyak berubah. Kulirik ke kanan, tampak seorang ibu paruh
baya yang asyik ngobrol dengan suami dan anaknya. Dari arah kiri, tampak
seorang gadis dan laki-laki yang asyik dengan gadget masing-masing.
Dari pengeras suara terdengar pengumuman, pesawatku akan
transit di Surabaya. Semakin panjang perjalananku. Waktu take off tiba juga.
Jakarta-Surabaya ditempung kurang lebih satu setengah jam.
Ini kali kedua, aku menginjakkan kaki di bandara Juanda. Surabaya identik
denganmu, sahabatku, Mas Daniel. Aku terlempar ke ingatan akan pertemuan
denganmu pertama kali. Kala itu, aku akan menghadiri acara Blogger Nusantara di
Sidoarjo, aku yang buta Surabaya memintamu untuk menjemputku. Tiba di Surabaya
kala itu, aku begitu gugup. Keluar dari pintu kedatangan, aku langsung
menelponmu. Kamu mengatakan menungguku di depan rumah makan Minang. Dari
kejauhan, nampak sosok lelaki bertubuh ringkih, berbalut kemeja dan jeans,
rambut panjang tergerai masai. Kesan pertama saat melihatmu, lelaki urakan. Ternyata
kamu beda saat ketemu langsung, lebih enak diajak ngobrol.
Aku melangkahkan kaki menuju di gate 5. Aku tak terlalu suka
dengan bandara ini, terasa sangat sesak. Kafe yang berjejer membuat ruang gerak
jalan semakin sempit. Ditambah lagi, penumpang yang berjubel, membuat ruang
gerak semakin sempit. Tak jauh berbeda dengan selasar yang kulalui, gate 5 pun
penuh dengan penumpang berbagai tujuan. Transit di bandara ini tak selama
sebelumnya, hanya 15 menit saja. Sekali lagi aku menjadi penumpang terakhir
yang masuk ke pesawat.
Dua jam setengah waktu yang dibutuhkan untuk tiba di kota
tujuan utama, Manado. Tak ada yang berubah dengan Bandara Sam Ratulangi. Masih
seperti setahun lalu saat aku meninggalkan kota ini untuk ikut denganmu. Biasanya
aku yang menunggumu di depan pintu, kali ini aku yang keluar dari pintu,
tanpamu disampingku.
Perjalanan kali ini sungguh melelahkan. Berpindah dari satu
bandara ke bandara lain, menyeretku dalam pusaran kenangan. Tapi, itulah yang
membuat bandara spesial bagiku.
Pertemuan dan perpisahan yang terjadi, membentuk sebuah kenangan. Bandara,
beribu orang bertemu dan berpisah, ada
haru, tangis, tawa yang menyelimuti tempat ini. Aku tak pernah bosan menjadi
bagian didalamnya. Tapi, untuk kali ini aku tak ingin, aku hanya ingin duduk
disampingmu, menyusuri lekuk kota saat senja dan menghabiskan malam dalam
pelukanmu.
Aku melangkah dengan enggan, kudorong trolly melewati pintu
kedatangan, tampak mama dan koko sudah menungguku. Ponsel berdering, tak perlu melihat layar, aku sudah
tau telpon itu darimu, suamiku. Ingin secepatnya meninggalkan bandara, berada
di sini membuatku tambah sesak akan rindu dan kenangan.
40 comments